Senin, 14 Oktober 2013

Terminal




Saya tak tahu persis dari mana kata “preman”.  Ada yang mengatakan asal-usulnya dari kata Belanda vrijman — dengan tekanan pada vrij, “bebas”.

Jika benar demikian, saya kira itu kata yang pas. Mereka jenis penghuni sebuah wilayah yang membebaskan diri dari hukum wilayah itu.  Mereka orang-orang yang berada di sebuah ruang juridis-politis, namun menunjukkan diri, terang-terangan atau tidak, sebagai perkecualian — dan dengan demikian mengambil-alih kedaulatan di tangan  sendiri.


Bunuh membunuh yang terjadi pekan lalu di Yogya dan Sleman — ketika praktis Republik Indonesia dianggap tak punya arti  — adalah pengukuhan  bahwa kedaulatan direbut mereka yang tak mengakui hukum sebagai penjaga ketertiban. Bagi mereka, ketertiban hanya bisa   lahir dari nyali dan kekejaman. Akhirnya, sebuah paradoks: ketertiban berdiri dengan ketidak-tertiban dan mereka adalah warga dari sebuah negera tapi yang sekaligus berada di luarnya.

Bukan fenomena yang unik sebenarnya. Sang preman bisa ada di mana-mana, muncul dari zaman ke zaman.  Pada pertengahan abad ke-19, di Manhattan, New York, ada seorang tokoh yang kemudian dikisahkan kembali hidupnya dalam Gang of New York, sebuah film Martin Scorcese. Ia Bill “the Butcher” Cutting yang kata-katanya seakan-akan bergaung di Yogya dan Sleman malam itu, dan mungkin juga di Jakarta di hari lain:

“Seseorang mencuri milikku, aku potong tangannya. Ia menghinaku, aku copot lidahnya. Ia bangkit melawanku, aku penggal kepalanya, lalu kucoblos dan kupasang di tonggak, tinggi-tinggi, supaya semua orang bisa lihat. Itu yang bikin tata tertib. Rasa takut”.

Bill “The Butcher” sendiri tewas dalam serbuan tentara yang hendak menegakkan ketertiban. Ia terpelanting jatuh oleh sebuah ledakan.  Akhirnya seorang anak muda yang hendak membalas kematian ayahnya menikamnya. Kata-kata terakhirnya:  “Thank God, I die a true American.”

Tak jelas apa yang dimaksudkannya.  Ia terbunuh karena aparat negara hendak menegakkan kedaulatannya. Ia juga terbunuh karena seseorang merasa punya kedaulatan atas hidup dan matinya. Adakah hidupnya habis sebagai seorang preman, ataukah sebagai seorang warga negara, “a true American“?  Ia  telah meletakkan dirinya sebagai seorang yang merdeka, ia bukan budak, tapi ia tak mengakui bahwa kemerdekaannya, hak-haknya, dijamin dan dijaga sebuah republik yang sebenarnya ia ingkari: republik yang mengakui hak warga negara dan hak asasi manusia.

Tapi barangkali Bill “the Butcher” termasuk orang yang membedakan hak warga negara dari hak asasi itu — seperti penguasa Nazi Jerman, Soviet Stalin, Orde Baru Suharto dan anggota TNI yang membunuh empat orang (yang telah mereka tentukan sebagai penjahat dan pembunuh) tanpa  memberi mereka kesempatan membela diri.

Memang sebuah pertanyaan besar:  apa yang  mempertautkan hak warga negara dengan hak asasi manusia? Jangan-jangan “manusia” di situ sebenarnya hanya sebuah konsep. Jangan-jangan hak jadi hak ketika sebuah  negara mengukuhkannya.  Dalam praktek, tanpa negara, manusia memang bisa diperlakukan seakan-akan telanjang.

Ada seorang bernama Mehran Karimi Nasseri.  Ia lahir di Iran, pada 1942. Ayahnya seorang Iran asli, seorang dokter yang bekerja untuk perusahaan minyak milik Iran dan Inggris. Ibunya, demikian dikatakannya, seorang perawat dari Skotlandia.  Pada 1971 ia diusir dari Iran karena aktif  menentang kekuasaan Shah Iran.   Setelah ikhtiar yang lama dan susah, ia dapat bantuan Komisi PBB urusan pengungsi: ia diberi kesempatan jadi emigran di Belgia.

Tapi pada 1986 ia memutuskan akan tinggal di Inggris. Ia merasa berhak karena ibunya warga negara. Dua tahun kemudian ia berangkat.  Apa lacur, di Paris tasnya dicuri orang.  Semua dokumennya, juga paspornya, hilang.  Tapi ia nekad. Ia tetap berangkat dengan pesawat ke London.  Di Heathrow, tanpa paspor, ia tak boleh masuk. Ia dikembalikan ke Paris.  Menurut hukum ia, dengan tiket yang utuh, boleh masuk ke bandara Charles de Gaulle.  Tapi dari sana ia tak bisa ke luar; ia tak punya visa untuk Prancis. Juga ia tak punya negara lagi.  Belgia juga menolaknya, sebab menurut hukum negeri itu, seorang emigran yang sudah pindah ke negara lain tak bisa kembali sebagai penduduk.

Nasseri akhirnya hidup di Terminal Satu bandara Charles de Gaulle selama 17 tahun — dan kisahnya digubah jadi sebuah film Prancis,   Tombés du ciel (Yang Jatuh dari Langit, 1994) dan film Hollywood, Terminal (2004)  dengan Tom Hank sebagai orang yang terdampar, bernama Viktor Navorski, dari negeri Krakozhia, yang pemerintahannya berganti dan tak diakui dunia.

Ia tak boleh masuk. Ia tak boleh ke luar. Ia bebas. Tapi ia tak merdeka.  Tragis, tapi juga lucu. Apakah hak-hak manusia adalah hak warga negara?  Ataukah hak warga negara adalah hak-hak asasi manusia?
Status Nasseri mengharuskan kita berpikir:  perbedaan antara “manusia” dan “warga negara” justru membuka jalan seseorang untuk jadi subyek perjuangan politik yang menggugat tatanan yang bisa membuat orang terdampar di luar kehendaknya.

Dalam arti tertentu, subyek itu mirip seorang vrijman.  Ia membebaskan diri dari tatanan juridis-politik yang ada. Tapi ia lain dari preman dalam Gang of New York:  bukan ketertiban dan kontrol yang hendak ditegakkanya, apalagi dengan kekejaman yang menyebarkan rasa takut.  Preman dalam sebuah perjuangan politik ke arah hak-hak justru menampik ketertiban yang akan jadi status quo. 

Ia akan menggunakan posisinya di terminal yang tak jelas itu sebagai thema: akan ada selalu mereka yang kehilangan hak, dan akan ada selalu yang melawan keadaan kehilangan itu.

Goenawan Mohamad

4 komentar: