Senin, 14 Oktober 2013

Lelucon




Ada sebuah cerita yang saya temukan di internet dan saya ubah di sana-sini untuk para pembaca:
Pada suatu hari di Slovenia, seorang atheis sedang joging di hutan. Ia menikmati hijau pohon-pohon seraya tubuhnya bergerak di udara pagi.
Tiba-tiba ia dengar suara mengaum. Ketika ia menengok, ia lihat seekor singa besar (dan tampak lapar) mengejarnya.
Ia lari, menerabas semak. Tapi malang tak dapat ditolak: ia tersungkur di sebuah sudut. Singa itu pun tegak di dekatnya bersiap menerkam.
Putus asa total, si atheis sadar: hanya Tuhan yang bisa menyelamatkannya. Ia insyaf. Ia berdoa: “Ya, Tuhan, bebaskan aku dari hewan buas ini. Jadikanlah ia makhluk yang Kristiani”.
Tiba-tiba hutan bercahaya selama 30 detik. Mukjizat terjadi. Tokoh kita tahu, doanya dikabulkan.
Dan terdengarlah suara singa itu, takzim: “Bapa kami yang ada di Surga, terpujilah nama-Mu. Telah Kau beri aku santapan pagi yang lezat.”
Andaikata peristiwa itu terjadi benar-benar, kita tak akan tertawa. Seseorang yang tersungkur di hadapan seekor singa yang lapar bukanlah adegan yang menggelikan. Keajaiban yang membuat seeokor singa bisa bicara juga bukan kejadian yang lucu. Cerita di atas kocak karena ia satu konstruksi imajinatif yang menabrakkan apa yang mula-mula tampak galib (seseorang ketakutan dan putus asa menghadapi maut) dengan apa yang mendadak tak masuk-akal dan tak terduga (si singa jadi Kristen… dan tetap tak melepaskan mangsanya).


Tapi tak hanya itu. Ada olok-olok dalam lelucon tadi — dan agaknya dalam tiap lelucon. Olok-olok, seperti yang kita kenal di dunia anak-anak, adalah unsur penting dalam permainan. Lelucon yang baik tak pernah serius, tak pernah ingin berpetuah. Cerita di atas tak bermaksud mengingatkan orang agar tak jadi atheis atau agar tak berputus asa di dalam krisis. Tak ada yang dicela. Tak ada pesan moral.

Tapi orang bisa melihat hal-hal yang nyata di dalam cerita itu, samar atau pun tidak. Seorang atheis dan seorang Kristen bukanlah sosok yang ganjil. Sebuah lelucon tak bisa seluruhnya terdiri dari alam fantasi. Ia menggelikan karena ia tak berada di satu dataran; ia meloncat-loncat. Di dalamnya selalu ada dunia sehari-hari yang kita alami yang hadir, meskipun umumnya tak pernah pas. Dalam batas tertentu, lelucon mengandung peniruan.

Sebab itu tiap lelucon bisa diartikan sebagai parodi. Parodi, peniruan yang dibengkokkan pada saat yang menentukan, kita temukan misalnya dalam cerita wayang yang terkenal, Petruk Jadi Raja. Di sini, sang badut yang datang dari kelas jelata bertahta di Kerajaan Lojitengara dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh.
Pada momen itu, yang lucu, yang komik, muncul — meskipun itu semua berhenti ketika lakon ini jadi sebuah satire.

Satire is a lesson, parody is a game“, kata Novelis Vladimir Nabokov dalam sebuah wawancara.

Satire bisa agresif dalam memperlihatkan kebodohan, keculasan, atau ketidak-adilan, semacam ajaran dan advokasi agar semua itu tak dilakukan lagi. Sebab itu satire tak merasa perlu jadi lucu. Lakon Petruk Jadi Raja, ketika bermaksud mencemooh orang bawah ketika berkuasa, akan menusuk hati bagi yang terkena; ia tak membuatnya terbahak-bahak.

Parodi, sebaliknya, lebih cenderung nakal, jahil, tapi tanpa sikap militan yang menghantam sasaran. Di dalamnya ada sifat humor yang mendasar. Di dalamnya tertawa adalah untuk kami dan sekaligus untuk kita.
“Tertawa tampaknya butuh sebuah gema”, kata Henri Bergson dalam risalahnya tentang tertawa.

Ketika kita tertawa sendirian di perpustakaan membaca sebuah lelucon, kita sebenarnya tertawa bersama dengan orang lain, entah di mana, baik dengan si pembuat lelucon itu atau mereka yang membaca lelucon yang sama.

Tapi sifat sosial humor tak cuma di situ. Jika satire sering tak lucu tapi menusuk, itu karena ia disuarakan sebuah subyek yang — seperti dalam perang propaganda — tegas, tajam, galak, memandang sasaran sebagai sesuatu yang harus dijatuhkan. Satire bukan kelaziman para punakawan dalam wayang. Mereka lucu benar karena tak menampilkan diri perkasa.

Sejak awal, mereka subyek-dalam-keterbatasan: jelek, tak anggun, bahkan cacat. Mereka memandang dunia sebagai proyeksi diri mereka: sesuatu yang rumpang, tak beres, tapi tetap bisa ditanggungkan jika kita mengambil jarak dari kerumpangan itu.

Ada kearifan dalam sikap itu, seperti kearifan Semar yang berjalan jauh mengikuti pengembaraan Arjuna. Orang tua ini tertawa ketika jalan terjal mendaki dan menangis ketika jalan turun landai. Hidup kita sambut justru karena kesulitan akan digantikan kemudahan, dan sebaliknya. Dengan kata lain: fana. Tapi juga dalam kefanaan, yang tragis tak mungkin diingkari.

Comedy is a tragedy plus time“, kata Woody Allen.

Dunia, seperti dipetuahkan para aulia, memimpikan surga karena ia bukan surga. Malapetaka selalu terjadi. Hanya dengan jarak waktu kita bisa melihatnya sambil tertawa. Dengan komedi, kita menaruh yang tragis di dalam kurungan, beberapa saat.

Seperti tokoh Cecilia dalam film Woody Allen, The Purple Rose of Cairo. Ia, pekerja restoran yang dianiaya suami, hanya bisa menghibur diri di bioskop. Suatu hari, ia mendapatkan bahwa tokoh utama film yang ditontonnya tiba-tiba turun dari layar putih dan jatuh cinta kepadanya. Ia berbahagia sekali. “I just met a wonderful new man! He’s fictional, but you can’t have everything.”

Ia tahu laki-laki ganteng dan baik budi itu hanya fiktif. Tapi dalam hidupnya yang rudin, ia tak meminta banyak.

Melankoli itu membuat kita tersenyum. Cecilia yang konyol. Cecilia yang bersyukur di tengah kemuraman. Cecilia kita.

Goenawan Mohamad

1 komentar: