Senin, 14 Oktober 2013

Promotheus







Pada umur 26 tahun,  anak baik itu, Aaron Swartz, menggantung diri. Diduga ia ketakutan.Kejaksaan mengancamnya dengan hukuman berat.  Jum’at 11 Januari yang lalu tubuhnya diketemukan tak bernyawa di apartemennya di Brooklyn, New York.


Yang tak disangka-sangka — mungkin juga oleh Aaron sendiri — ialah bahwa suara kehilangan bergema di mana-mana, juga di Indonesia, terutama di dunia pengguna internet.  Upacara pemakamannya di sinagoga Central Avenue Synagogue di Highland Park, Chicago, diiringi tangis dan ucapan penghormatan yang tak mudah dilupakan.

“Aaron meninggal, ” kata Tim Berners-Lee, penemu  World Wide Web.  “Para pengelana dunia, kita telah kehilangan seorang sesepuh yang bijaksana….Para orang tua, kita telah kehilangan seorang anak. Kita pantas menangis.”

Seorang anak dan sekaligus sesepuh, pada usia 26 — agaknya itu kombinasi yang tak mudah dipahami, terutama bila dikaitkan dengan  tuduhan kriminal terhadapnya.  Terutama bila orang tak tahu bahwa jenius ini, pelopor ini, pejuang kemerdekaan arus informasi ini, adalah seorang pengubah dunia. Terutama dunia tempat kapitalisme dielu-elukan,  dan hidup, “being“, ditenggelamkan “milik”, “having” — khususnya yang disebut Erich Fromm sebagai “hasrat bergelora untuk menyimpan dan mempertahankan”.

“Aaron sangat, sangat ingin mengubah dunia,” Taren Stinebrickner-Kauffman, kekasihnya, berkata sambil menahan tangis di dekat jenazah. “Ia inginkan itu lebih dari uang.  Ia inginkan itu lebih dari kemashuran.”
Gadis itu tak berlebihan. Empat tahun yang lalu Aaron menyusun sebuah manifesto yang menegaskan pandangannya:  informasi, terutama informasi ilmu pengetahuan, tak boleh dikungkungi buat segelintir orang, khususnya di perpustakaan kalangan akademia di negeri-negeri kaya.  “Menyediakan karya ilmiah bagi universitas-universitas elite di Dunia Pertama, tapi tidak untuk anak-anak di Dunia Selatan? Itu sama sekali tak pantas dan tak dapat diterima.”

Ia pun berseru: mereka yang punya akses ke sumber-sumber informasi — mahasiswa, pustakawan, ilmuwan — harus menyadari: itu sebuah privilese. “Kalian dapat melahap jamuan pengetahuan itu sementara dunia di luar tak bisa masuk.”  Sebagai keharusan moral, kata Aaron, “kalian tak dapat mengeloni privilese itu untuk diri sendiri. Kalian berkewajiban membaginya kepada dunia.”

Aaron tak cuma berseru. Pada umur 15, ketika ia masih seperti bocah agak gendut dengan kepala kegedean, ia sudah membantu mengembangkan Creative Commons, organisasi nir-laba yang membentuk sistem yang melonggarkan ketentuan hak cipta antar sesama seniman. Ia juga pernah memimpin pembangunan Open Library, yang hendak memberikan akses infomasi tentang tiap buku yang diterbitkan.
Pada umur 25, ia berhasil menggerakkan puluhan juta pengguna internet untuk menggagalkan undang-undang SOPA di Senat AS. Undang-undang ini dimaksudkan menjaga “hak cipta” industri kreatif Amerika dari “pembajakan”,  tapi pada akhirnya bisa menghilangan kemerdekaan untuk mendapatkan informasi — karena informasi itu, (yang disebut Aaron Swartz sebagai “kebudayaan publik”), akan tak bisa dibagi ke orang banyak.

Gerakan anti-SOPA itu berhasil.

Tapi ia tahu, ada yang tak akan berhenti: mereka yang “buta oleh keserakahan” –  perusahaan-perusahaan besar dunia hiburan, film dan musik, seperti yang bertahta di Hollywood…

Dan tak hanya itu. Keserakahan juga bisa tampil dalam bentuk yang lebih halus: kesadaran yang berlebih tentang “milik”.

Di minggu pertama Januari 2011,  Aaron ditangkap karena ketahuan mengunduh 4 juta dokumen dari khasanah karya ilmiah yang disimpan JSTOR, perpustakaan digital terkenal itu. Ia menggunakan jaringan Massachusetts Institute of Technology  (MIT) melalui sebuah laptop yang disembunyikannya di lantai dasar Gedung 16.  Ia bermaksud membagikan karya-karya ilmiah itu ke siapa saja yang butuh tapi tak punya akses.  Ia menentang kebijakan JSTOR yang membayar penerbit dan bukan penulis karya yang disimpannya, bila karya itu diunduh.

Kantor kejaksaan di Boston — alat Negara penjaga hak milik pribadi — menuduh tindakannya sebagai kejahatan (felony). Ada 13 jenis, katanya. Ancaman hukumannya bisa sampai 50 tahun penjara dan denda $ 4 juta.

Pihak JSTOR sendiri tak jadi menuntut; mereka tahu Swarz tak menggunakan barang yang diambilnya buat keuntungan sendiri; lagi pula ia mengembalikannya.  Tapi kejaksaan tak berhenti mengejar.
Ancaman hukuman itu — dan proses pengadilannya — yang agaknya meperburuk depresi yang ditanggungkan Aaron. “Everything gets colored by the sadness,”  ia pernah menulis itu dalam blognya.
Mungkin sebab itu  akhirnya ia tak ingin terus.

Seorang teman di Twitter, Pradewi Tri Chatami, mengiaskan dengan tepat Aaron Swartz sebagai Prometheus — tokoh dalam mitologi Yunani yang mencuri api dari kungkungan para dewa dan membagikannya kepada manusia. Prometheus pun dihukum: dipancang di gunung karang agar burung ganas merenggutkan jantungnya — yang tiap kali akan tumbuh lagi dan direnggutkan lagi, selama-lamanya.

Aaron memilih mati. Mungkin ia salah jalan. Tapi kepergiannya, seperti nasib Prometheus di gunung karang, akan selalu mengingatkan bahwa apa yang dianggap “pencurian” bermula dari premis yang bermasalah.
Marx mengatakan, “pencurian”,  yang merupakan kekerasan terhadap “milik” (Eigentum), bermula dari pra-anggapan akan adanya “milik”. Yang perlu ditanya, dari manakah datangnya “milik” itu. Yang perlu dilihat, sejauh mana pengetahuan adalah “milik” yang yang tak boleh dibagi.  Sebab tanpa berbagi, pengetahuan akan mati di luar kebudayaan.

Goenawan Mohamad


1 komentar:

  1. "Agen poker terbesar dan terpercaya ARENADOMINO.
    minimal depo dan wd cuma 20 ribu
    dengan 1 userid sudah bisa bermain 9 games
    ayo mampir kemari ke Website Kami ya www.arenadomino.com

    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino"

    BalasHapus