Selasa, 08 Oktober 2013

Tahanan



Ketika Mahmoud Darwish meninggal, apa yang kita ingat?  Sajak-sajaknya? Atau nasibnya yang seperti nasib Palestina: terkurung, melakukan apa yang dilakukan para tahanan dan dikerjakan para penganggur–yakni mengolah harap?

Di sini di lereng bukit,
menatap malam dan meriam waktu
di dekat kebun bayangan patah
kita lakukan yang tahanan lakukan
dan kerjakan yang penganggur kerjakan:
mengolah harap
**
Di sini tak ada “aku”.
Di sini Adam
mengingat debu dari lempung itu
**
Di ambang mati, ia berkata:
Aku tak punya jejak yang akan kutinggalkan:
Aku bebas di dekat rapat kemerdekaanku.
Masa depanku di tangan
Dan akan segera kutembus hidup
Aku akan lahir lepas, yatim piatu
Memilih huruf lazuardi buat namaku…
Bisakah kita mengingat kata-kata begitu saja, jika kata-kata itu tak punya sejarah? Jika, seperti dalam puisi Mahmoud Darwish, tak menyentak lepas dari tembok-tembok yang dibangun dengan paksa?
Ketika Mahmoud Darwish meninggal, 9 Agustus yang lalu, dalam usia 67, sudah enam tahun lebih lamanya tembok itu berdiri. April 2002, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon memulainya: dinding-dinding pembatas dari semen setinggi 10 meter dibangun. Kepada dunia luar dikesankan, tembok itu akan membatasi wilayah Israel dari wilayah Palestina–batas yang ditarik sejak 1947. Tapi dalam kenyataan tidak: bangunan itu meruyak masuk ke daerah Palestina. Panjangnya 650 kilometer, merentang melintasi Tepi Barat Sungai Yordan dan Yerusalem Timur. Kawat berduri, radar, kamera, dan peralatan elektronik didirikan di atas parit yang digali di kedua sisi.
Orang Palestina praktis tak bisa bergerak. Penduduk Kota el-Azariyeh harus menggunakan alat pengangkat barang untuk menyeberangkan anak-anak mereka melintasi dinding untuk pergi sekolah. Di Kota Budrus tak ada klinik, sekolah menengah, dan 80 persen buruh yang tinggal tak bisa meninggalkan tempatnya buat kerja.
Tembok itu telah menegaskan: ada yang ada di dalam dan ada yang harus ada di luar. Palestina adalah identitas yang telah memisahkan sejumlah manusia dari dunia–dan identitas pun jadi kebanggaan yang harus ditegakkan, tapi sekaligus beban yang harus ditanggung. Pada 1964, Darwish menulis sepotong sajak:
Catat! Aku orang Arab/dan nomor KTP-ku 50.000/Dan yang kesembilan akan datang musim-panas nanti….
Catat! Aku orang Arab/Namaku tanpa gelar/Pasien di negeri tempatku tinggal.
Kekuasaan dan kekerasan–kita tak tahu lagi mana yang datang lebih dulu–gemar membuat KTP, garis, tembok, peta. Tak cuma di Palestina, tentu. Kita ingat Tembok Berlin yang didirikan dengan paksa oleh titah Moskow untuk membagi dua kota itu. Ia mengerikan dan tinggi, rata-rata 3,5 meter, dan panjang,  sepanjang 155 kilometer–tapi tak setinggi dan sepanjang tembok Ariel Sharon. Dan mungkin juga tak sekuat apa yang didirikan oleh pemerintah Israel, sebab keputusan itu didukung para pemilih yang  yakin–atas nama keselamatan diri, meskipun untuk itu harus mencelakakan orang lain.
Pada 9 Juli 2004, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan tembok itu melanggar hukum yang menjaga hak asasi manusia. Mahkamah itu menganggap ilegal tiap bagian batas yang dibangun di wilayah Palestina. Tapi Den Haag begitu jauh. Kata-kata para hakim begitu lamat-lamat. Keputusan itu telah jadi seperti kata-kata para penyair. Sekitar tahun 2002 Mahmoud Darwish, yang pernah jadi anggota Partai Komunis (yang percaya bahwa kesadaran dan bahasa tak hanya buat menafsirkan dunia), mengatakan, “Semula saya kira puisi dapat mengubah semuanya, dapat mengubah sejarah dan membuat hal jadi manusiawi… tapi sekarang saya kira puisi hanya mengubah penyairnya.”
Dia mungkin pahit, atau dia mungkin mengejek ketidakberdayaannya sendiri. Tapi ia benar, meskipun tak sepenuhnya benar. Ketika kekuasaan dan kekerasan membentuk ruang jadi geometri yang mati, tiap kata puisi adalah tenaga yang cair, yang tak tampak, tapi mampu untuk melintasinya. Tiap kata puisi adalah “huruf lazuardi”–warna langit di atas Palestina, sesuatu yang mengembalikan pesona dan kebebasan–yang bisa dituliskan bahkan oleh seorang yang kehilangan semuanya, seorang yatim piatu sejarah, manusia tanpa proteksi dalam arti yang sehabis-habisnya.
api, kalaupun puisi tak punya dampak politik, setidaknya, berkat Mahmoud Darwish, dunia mendengar dari orang-orang yang terusir dan tinggal di kamp berpuluh tahun itu tak hanya ada tenaga para pembunuh. Dari Mahmoud Darwish kita tahu: di Palestina, ketidakadilan tegak dan dijaga ketat, sementara keadilan jadi tahanan di sel yang tersembunyi. Kita tak bisa meruntuhkan sel itu. Tapi kita tak bisa membenarkannya.
~Majalah Tempo Edisi. 25/XXXVII/18 – 24 Agustus 2008~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar